Perjalanan SokHokGie

Soe Hok Gie
Soe Hok Gie
sumber dari: zenius.net

Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad kedua tersebut sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.”
Dikutip dari buku :
                                                                                                                         Soe Hok-Gie…Sekali Lagi

Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dia adalah sosok aktivis yang sangat aktif pada masanya. Sebuah karya catatan hariannya yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1983. Soe Hok Gie tercatat sebagai mahasiswa Universitas Indonesia dan juga merupakan salah satu pendiri Mapala UI yang salah satu kegiatan terpenting dalam organisasi pecinta alam tersebut adalah mendaki gunung. Gie juga tercatat menjadi pemimpin Mapala UI untuk misi pendakian Gunung Slamet, 3.442 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Gunung Pangrango di Jawa Barat bisa dibilang sebagai gunung favorit Soe Hok Gie. Sebab, di sanalah dirinya membuat banyak puisi. Mendaki gunung ini sambil melewati Lembah Mandalawangi, seolah menelusuri napak tilas Gie.

Namun, pesona Soe Hok Gie membuat Pangrango menjadi gunung yang paling rajin didaki. Puisi-puisi Gie tentang Mandalawangi menciptakan romantisme buat para perempuan dan semacam panutan bagi pendaki pria yang mereka ingin menjadi seperti Gie.

Berikut adalah puisi Soe Hok Gie tentang puncak Mandalawangi :


MANDALAWANGI – PANGRANGO

Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu

aku datang kembali

kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna

aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan

dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi

sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada

hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali

Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar

‘terimalah dan hadapilah

dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara

aku terima ini semua

melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango

karena aku cinta pada keberanian hidup

Jakarta 19-7-1966
Akhir perjalanan Soe:
15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.

Yang mencintai udara jernih

Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan & kebebasan
Yang mencintai bumi

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung

Mereka tengadah & berkata, kesana-lah Soe Hok Gie & Idhan Lubis pergi

Kembali ke pangkuan bintang-bintang
Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi

Sementara saputangan menahan tangis

Sementara Desember menabur gerimis
24 Desember 1969

Sanento Yuliman


EmoticonEmoticon